Percepatan digitalisasi dan peningkatan produktivitas yang nyata diperlukan untuk bertahan dalam menghadapi gelombang restrukturisasi
Suku bunga nol persen mendefinisikan kembali campuran produk dan portofolio
Kendala modal di lembaga yang teregulasi mendorong pembiayaan kepada pemberi pinjaman non bank
Tindakan pemerintah pasca pemulihan mendorong ESG (Environment, Social, and Governance) masuk ke dalam arus utama
30 November 2020 – Peran utama bank konvensional yang menyediakan pembiayaan dan modal akan menghadapi tantangan yang semakin besar di dunia pasca COVID-19 dari lembaga-lembaga kredit non bank, menurut laporan PwC, “Securing your tomorrow, today – The future of financial services,” yang memprediksi bahwa penyedia modal alternatif akan menjadi bagian yang semakin penting dalam sistem keuangan global.
Dalam 10 tahun terakhir, penyaluran kredit agregat dalam USD oleh lembaga-lembaga non bank telah melampaui laju pertumbuhan lembaga-lembaga kredit konvensional, dimana lembaga-lembaga non bank mencatat tingkat pertumbuhan tahunan gabungan (CAGR/Compound Annual Growth Rate) pinjaman sebesar 2,3%, dibandingkan dengan 0,6% CAGR untuk perbankan. Tren ini kemungkinan akan meningkat karena penurunan rasio modal inti - yang disebabkan oleh penurunan nilai aset akibat pandemi COVID-19 - akan membatasi kapasitas penyaluran kredit bank, terutama di Eropa.
Sumber-sumber keuangan non tradisional seperti ekuitas swasta, sovereign wealth funds, dana kredit, dan pemerintah sendiri akan perlu melampaui batas pinjaman agar dapat membiayai pemulihan dan kondisi pasca-pemulihan.
Pada 2019, lembaga-lembaga non bank - termasuk dana ekuitas swasta dan sovereign wealth funds - menyalurkan pinjaman sebesar 41 triliun dolar dibandingkan dengan 38 triliun dolar yang disalurkan oleh lembaga-lembaga kredit konvensional. Secara khusus, analisis oleh PwC menunjukkan bahwa utang swasta telah mengalami pertumbuhan substansial, yang akan mendorong kelas aset ke dalam kategori yang signifikan dari pinjaman non bank. Sejak 2010, CAGR utang swasta telah meningkat 11%.
Bagi lembaga-lembaga keuangan yang sudah mapan, munculnya pinjaman alternatif mempertanyakan peran bank sebagai penyedia modal versus perantara, menurut John Garvey, Global Financial Services Leader dari PwC AS.
“Meningkatnya jumlah penyedia modal alternatif dan dampak COVID-19 pada pemberi pinjaman konvensional telah menyoroti bagaimana berbagai model pendanaan akan berkembang di masa depan. Bagi lembaga-lembaga keuangan konvensional, pergeseran ini akan berdampak signifikan pada model bisnis - dan terutama keuntungan lembaga-lembaga tersebut. Bank-bank perlu segera memikirkan cara alternatif untuk berpartisipasi dalam value chain seiring dengan industri keuangan yang mulai bermigrasi ke model berbasis platform.”
Bagi perusahaan asuransi dan asset and wealth managers, tantangannya sama-sama menakutkan.
Laporan tersebut berpendapat bahwa kombinasi suku bunga mendekati nol dan munculnya pemain khusus digital akan menciptakan margin yang lebih ketat di seluruh portofolio produk, dengan demikian menekankan perlunya melakukan digitalisasi dengan cepat, mendapatkan efisiensi biaya, dan mencatat keuntungan nyata dalam produktivitas. Semua ini harus diselesaikan dengan adanya amanat pemerintah yang mewajibkan lebih banyak pengeluaran dan pelaporan tentang inisiatif Lingkungan, Sosial, dan Tata Kelola (ESG). Perusahaan yang gagal melakukannya kemungkinan besar akan merugi ketika gelombang transaksi dan restrukturisasi yang akan datang akhirnya tiba.
“Meskipun industri jasa keuangan bertahan dengan baik dalam menghadapi pandemi, pukulan paling parah mungkin akan dialami dari dampak gelombang kedua. Hilangnya pekerjaan, penutupan bisnis, peningkatan utang dan volatilitas pasar akibat pandemi dan dampaknya, ditambah dengan suku bunga rendah yang terus berlanjut, akan dirasakan secara negatif di seluruh ekonomi riil pada tahun-tahun mendatang. Tantangan bagi industri jasa keuangan adalah bagaimana agar mampu melewati lingkungan yang sulit ini sambil menyeimbangkan pemangkasan biaya dan investasi. Perusahaan-perusahaan dengan eksekusi terbaik akan menjadi yang paling berhasil,” kata John Garvey.
David Wake, PwC Indonesia Financial Services Advisor, menambahkan, “Sejak tiga tahun yang lalu kami membuat Indonesia Banking Survey dan menyoroti bahwa adanya faktor-faktor yang berpengaruh dengan cepat di Indonesia - yaitu margin dan produktivitas yang lebih rendah, serta kebangkitan perbankan dan platform digital. Saat ini sangat penting bagi lembaga keuangan di Indonesia untuk melakukan digitalisasi - tidak hanya untuk mendapatkan efisiensi dan peningkatan produktivitas, tetapi juga untuk menghadapi persaingan dalam meningkatkan customer experience dan pertumbuhan jumlah konsumen, mulai dari strategi hingga eksekusi.”
Catatan kepada editor
Sumber Data: Bank for International Settlements, laporan Preqin Global Private Debt 2018/2019, CFA Institute, analisis Strategy&.
Konten ini hanya untuk tujuan informasi umum, dan tidak boleh digunakan sebagai pengganti konsultasi dengan penasihat profesional.
Tentang PwC Indonesia
PwC Indonesia terdiri dari KAP Tanudiredja, Wibisana, Rintis & Rekan, PT PricewaterhouseCoopers Indonesia Advisory, PT Prima Wahana Caraka, PT PricewaterhouseCoopers Consulting Indonesia, dan Melli Darsa & Co., Advocates & Legal Consultants, masing-masing sebagai entitas hukum dan firma anggota yang terpisah dari jaringan global PwC.
Tentang PwC
Di PwC, kami bertujuan membangun kepercayaan dalam masyarakat dan memecahkan masalah-masalah penting. Kami adalah jaringan firma yang terdapat di 155 negara dengan lebih dari 284.000 orang yang berkomitmen untuk memberikan jasa assurance, advisory dan pajak yang berkualitas. Temukan lebih banyak informasi dan sampaikan hal-hal yang berarti bagi Anda dengan mengunjungi situs kami di www.pwc.com.
PwC merujuk pada jaringan PwC dan/atau satu atau lebih firma anggotanya, masing-masing sebagai entitas hukum yang terpisah. Kunjungi www.pwc.com/structure untuk informasi lebih lanjut.
© PwC 2020. Hak cipta dilindungi undang-undang.