Tiga perempat CEO memprediksi ekonomi akan kembali tumbuh pada 2021

  • 76% CEO percaya pertumbuhan ekonomi global akan membaik pada tahun 2021
  • Keyakinan pada pertumbuhan pendapatan perusahaan kembali muncul
  • AS masih memimpin atas Tiongkok sebagai negara tujuan terbaik untuk mencapai pertumbuhan di mata para CEO
  • Pada tahun penyelenggaraan UN Climate Change Conference of the Parties (COP26), perubahan iklim masih belum ditanggapi sebagai isu mendesak
  • Misinformasi menjadi satu dari ancaman teratas bagi pertumbuhan

 

Jakarta, 29 Maret 2021 – Satu tahun setelah COVID-19 dinyatakan sebagai pandemi, para CEO menyuarakan tingkat optimisme yang tinggi terhadap pemulihan ekonomi global, di mana 76% pemimpin bisnis global memperkirakan bahwa pertumbuhan ekonomi akan membaik pada tahun 2021.

Angka tersebut berasal dari PwC Global CEO Survey Tahunan ke-24, yang tahun ini menyurvei 5.050 CEO di 100 negara selama Januari dan Februari 2021.

Persentase CEO yang menyatakan keyakinannya terhadap pertumbuhan naik dari 22% pada 2020 dan 42% pada 2019, mewakili tingkat optimisme tertinggi sejak pertanyaan itu mulai diajukan dalam survei tersebut pada 2012.

Optimisme di antara para CEO terhadap pertumbuhan ekonomi global sangat kuat di Amerika Utara dan Eropa Barat, dengan masing-masing 86% dan 76% CEO dari kawasan ini memperkirakan adanya peningkatan pertumbuhan global di tahun mendatang.

“Setelah setahun tragedi kemanusiaan dan kesulitan ekonomi yang luas, sungguh menggembirakan untuk melihat bahwa orang-orang yang bertanggung jawab untuk membuat keputusan investasi dan mempekerjakan staf merasa optimistis namun tetap berhati-hati tentang tahun mendatang. Para CEO yakin bahwa ekonomi akan kembali tumbuh, didorong oleh perkembangan pesat dari vaksin dan peluncurannya di berbagai belahan dunia,” kata Bob Moritz, Chairman of the PwC Network

“Sepanjang tahun lalu yang dipenuhi gejolak, para CEO harus memikirkan kembali dan mengkonfigurasi ulang apa yang mereka lakukan dan bagaimana mereka melakukannya, sembari menangani neraca yang meregang dan mendukung karyawan yang terpaksa menghadapi keadaan luar biasa ini.

“Para CEO kini menghadapi dua tantangan mendasar: pertama, bagaimana membangun kepercayaan dengan berbagai pemangku kepentingan, yang ekspektasi bisnisnya lebih tinggi dari sebelumnya; dan kedua, bagaimana menyesuaikan bisnis mereka dan memberikan hasil yang berkelanjutan dalam lingkungan eksternal yang berubah dengan cepat. Organisasi yang mengambil langkah tepat dalam kedua hal itu akan berada pada posisi terbaik untuk keluar dari pandemi ini sebagai bisnis yang kuat, tangguh, dan produktif, yang mampu menahan guncangan di masa depan.”

 

CEO berkeyakinan bahwa pertumbuhan pendapatan akan kembali membaik ke posisi rata-rata pendapatan jangka panjang"

Para CEO lebih optimistis tentang prospek bisnis mereka. Sekitar 36% dari mereka yang disurvei mengatakan “sangat yakin” tentang prospek pertumbuhan pendapatan organisasi mereka selama 12 bulan ke depan, naik dari 27% CEO pada tahun 2020.

Meskipun keyakinan secara global meningkat, terdapat variasi yang luas di seluruh industri, yang mencerminkan tingkat yang berbeda-beda dari pengaruh pandemi terhadap perilaku konsumen. Para CEO di sektor teknologi dan telekomunikasi menunjukkan tingkat kepercayaan tertinggi, masing-masing sebesar 45% dan 43%. Sementara itu, para CEO di sektor transportasi dan logistik (29%) serta perhotelan dan rekreasi (27%) termasuk yang paling pesimistis tentang kemampuan mereka untuk meningkatkan pendapatan selama 12 bulan ke depan.

AS terus memimpin di atas Tiongkok sebagai negara tujuan terbaik untuk mencapai pertumbuhan

Temuan survei menunjukkan bahwa AS masih unggul sebagai pasar nomor satu yang diharapkan oleh para CEO untuk mencapai pertumbuhan selama 12 bulan ke depan sebesar 35%, 7% di atas Tiongkok yang mencapai 28%. Pada tahun 2020, AS hanya unggul 1% dari Tiongkok.

Perkembangan politik baru dan ketegangan yang ada telah berdampak pada pandangan para CEO AS. Mereka mengurangi penekanan terhadap Tiongkok sebagai pendorong pertumbuhan dan meningkatkan fokus mereka pada Kanada dan Meksiko; dibandingkan tahun 2020, minat para CEO AS terhadap kedua negara tersebut naik 78%. Sementara itu, para CEO Tiongkok melaporkan peningkatan minat terhadap negara-negara besar seperti AS, Jerman, dan Jepang - negara-negara tujuan utama ekspor.

Dengan 17%, Jerman bertahan di posisi ketiga pada peringkat negara tujuan untuk pencapaian pertumbuhan, sementara Inggris, pasca-Brexit, naik ke nomor empat (11%), melampaui India (8%). Jepang juga naik peringkat menjadi negara tujuan keenam yang paling menarik untuk mencapai pertumbuhan, menyalip Australia yang menempati posisi itu tahun lalu.

Pada tahun penyelenggaraan COP26, perubahan iklim belum ditanggapi sebagai isu mendesak

Persentase CEO yang mengungkapkan keprihatinan tentang perubahan iklim naik dari 24% pada tahun 2020 menjadi 30% pada tahun 2021. Angka ini hanya mewakili sedikit peningkatan dalam konteks COP26, yang diadakan tahun ini di Glasgow, Inggris. Temuan ini juga muncul dalam konteks meningkatnya kecemasan tentang hampir semua jenis ancaman.

Perubahan iklim masih menempati urutan kesembilan di antara persepsi ancaman CEO terhadap pertumbuhan. Lebih lanjut, 27% CEO lainnya melaporkan bahwa mereka “tidak peduli sama sekali” atau “tidak terlalu peduli” dengan perubahan iklim. Hal ini mungkin karena perubahan iklim tidak dilihat sebagai ancaman langsung terhadap pertumbuhan dibandingkan dengan permasalahan lain seperti pandemi, regulasi berlebihan, dan ancaman siber.

Sementara itu, 39% CEO yang disurvei percaya bahwa organisasi mereka perlu berbuat lebih banyak untuk “mengukur” dampak bisnisnya terhadap lingkungan. Ditambah lagi, 43% CEO percaya bahwa organisasi mereka perlu berbuat lebih banyak untuk “melaporkan” dampak tersebut, di mana porsi ini lebih besar daripada area pengungkapan lainnya. Hal ini menggembirakan karena semakin banyak dan semakin baiknya informasi perusahaan tentang dampak lingkungan adalah kunci untuk mendorong perubahan yang diperlukan demi mencapai ekonomi dengan net zero emission.

Akan tetapi, 60% CEO belum memperhitungkan risiko iklim ke dalam aktivitas manajemen risiko strategis mereka. Hal ini mengkhawatirkan karena perubahan iklim menimbulkan peningkatan risiko fisik dan transisi terhadap bisnis. Di tingkat negara, CEO di negara-negara dengan tingkat keterpaparan tinggi terhadap bahaya alam seperti India dan Tiongkok termasuk yang paling tidak siap menghadapi risiko perubahan iklim.

Meskipun 23% CEO berencana untuk secara signifikan meningkatkan investasi dalam inisiatif keberlanjutan sebagai akibat dari COVID-19, hampir sepertiga CEO tidak merencanakan perubahan sama sekali.

Bob Moritz berkata: “Untuk mengatasi tantangan terbesar yang dihadapi dunia kita saat ini, kita perlu mengubah insentif yang mendorong pengambilan keputusan. Hal ini mengharuskan pasar keuangan untuk mengambil pandangan yang lebih luas terhadap nilai, melebihi keuntungan finansial dan nilai jangka pendek semata, sehingga modal akan mengalir ke tempat yang tepat. Pelaporan nonkeuangan perusahaan yang lebih baik dan sebanding juga penting. Perusahaan yang mengambil langkah tepat dalam hal ini akan menaikkan brand dan membangun kepercayaan dengan pemangku kepentingan.”

Kekhawatiran tentang ancaman siber, kebijakan pajak, dan informasi yang keliru terus meningkat

Tidak mengherankan, pandemi dan krisis kesehatan berada di puncak daftar ancaman terhadap prospek pertumbuhan, melampaui ketakutan akan regulasi yang berlebihan, yang telah menjadi perhatian nomor satu bagi para CEO secara global sejak 2014.

Meningkatnya digitalisasi memperbesar risiko yang ditimbulkan oleh ancaman siber. Hal ini, ditambah dengan peningkatan signifikan dalam jumlah insiden keamanan siber pada tahun 2020 termasuk serangan ransomware, mengakibatkan ancaman siber melonjak menjadi perhatian nomor dua, sebagaimana disebutkan oleh 47% CEO dibandingkan dengan 33% CEO pada tahun 2020. Ancaman siber menjadi perhatian terutama bagi CEO di Amerika Utara dan Eropa Barat, di mana hal itu dianggap sebagai ancaman yang lebih besar daripada pandemi.

Yang juga meningkat pesat dalam daftar kekhawatiran CEO adalah penyebaran informasi yang keliru (28%, atau naik dari 16% pada tahun 2020), yang berdampak pada pemilihan umum, reputasi, dan kesehatan publik - yang selanjutnya menyebabkan penurunan kepercayaan di masyarakat.

Pada tahun 2020, ketidakpastian kebijakan pajak berada di luar sepuluh besar kekhawatiran CEO, dengan hanya 19% CEO yang mengkhawatirkan itu. Tahun ini, kepentingannya meningkat pesat, melonjak ke posisi ketujuh (31%), di mana para CEO tidak diragukan lagi mengamati bahwa utang pemerintah kian menumpuk dan menyadari bahwa pajak bisnis kemungkinan besar perlu dinaikkan.

Investasi digital untuk masa depan

Ketika ditanya tentang pengeluaran untuk transformasi digital, hampir setengah dari CEO (49%) memproyeksikan adanya peningkatan sebesar 10% atau lebih. Meskipun kekhawatiran yang disuarakan oleh para CEO tentang serangan siber meningkat, hal itu belum diterjemahkan menjadi tindakan-tindakan konkret. Tidak sampai setengah dari CEO yang berencana untuk meningkatkan investasi digital juga berencana untuk meningkatkan pengeluaran untuk keamanan siber dan privasi data sebesar 10% atau lebih.

Pada saat yang sama, semakin banyak CEO - 36% - berencana menggunakan automasi dan teknologi untuk meningkatkan daya saing tenaga kerjanya, di mana persentase ini melebihi dua kali lipat jumlah CEO yang mengatakan hal yang sama pada tahun 2016.

 

Catatan untuk editor
Unduh laporan tersebut di ceosurvey.pwc.

PwC menyurvei 5.050 CEO di 100 negara dan wilayah pada Januari dan Februari 2021. Jumlah ini naik dari 3.501 responden pada survei tahun lalu. Angka-angka global dan regional dalam laporan ini didasarkan pada subsampel sebanyak 1.779 CEO, proporsional terhadap nominal PDB dari negara terkait untuk memastikan bahwa pandangan para CEO mewakili semua wilayah utama. Perincian lebih lanjut menurut wilayah, negara, dan industri tersedia berdasarkan permintaan.

Dari 1.779 CEO yang tanggapannya digunakan untuk menghitung angka-angka global dan regional: 

  • 6% dari organisasinya memiliki pendapatan sebesar US$25 miliar atau
  • 9% dari organisasinya memiliki pendapatan antara US$10 miliar dan US$25 miliar.
  • 35% dari organisasinya memiliki pendapatan antara US$1 miliar dan US$10 miliar.
  • 34% dari organisasinya memiliki pendapatan antara US$100 juta dan US$1 miliar.
  • 14% dari organisasinya memiliki pendapatan hingga US$100 juta.
  • 60% dari organisasinya dimiliki sendiri.

Kami juga melakukan wawancara tatap muka yang mendalam dengan para CEO dari enam wilayah. Beberapa dari wawancara ini dikutip dalam laporan ini, dan transkrip yang lebih lengkap terdapat di situs web kami, https://www.strategy-business.com/inside-the-mind-of-the-ceo.

Tentang PwC Indonesia
PwC Indonesia terdiri dari KAP Tanudiredja, Wibisana, Rintis & Rekan, PT PricewaterhouseCoopers Indonesia Advisory, PT Prima Wahana Caraka, PT PricewaterhouseCoopers Consulting Indonesia, dan Melli Darsa & Co., Advocates & Legal Consultants, masing-masing sebagai entitas hukum dan firma anggota yang terpisah dari jaringan global PwC.

Tentang PwC
Di PwC, kami bertujuan membangun kepercayaan dalam masyarakat dan memecahkan masalah-masalah penting. Kami adalah jaringan firma yang terdapat di 155 negara dengan lebih dari 284.000 orang yang berkomitmen untuk memberikan jasa assurance, advisory dan pajak yang berkualitas. Temukan lebih banyak informasi dan sampaikan hal-hal yang berarti bagi Anda dengan mengunjungi situs kami di www.pwc.com.

PwC merujuk pada jaringan PwC dan/atau satu atau lebih firma anggotanya, masing-masing sebagai entitas hukum yang terpisah. Kunjungi www.pwc.com/structure untuk informasi lebih lanjut.

© PwC 2021. Hak cipta dilindungi undang-undang.

 

Contact us

Cika Andy

External Communications, PwC Indonesia

Tel: +62 21 509 92901

Follow PwC Indonesia