● Laju dekarbonisasi turun menjadi 0,5%, level dekarbonisasi terendah selama satu dekade, pada saat di mana tindakan nyata dibutuhkan
● Laju dekarbonisasi tahunan yang disyaratkan kemudian naik menjadi 15,2%, 11 kali lebih cepat dari rata-rata global yang dicapai sejak tahun 2000
● Intensitas karbon global harus turun sebesar 77% pada tahun 2030 untuk menjaga agar target batas maksimal kenaikan suhu pemanasan global 1,5°C tetap pada jalurnya
● Banyak negara besar yang justru intensitas karbonnya mengalami kenaikan pada tahun 2021
Jakarta, 31 Oktober 2022 - Tidak ada negara anggota G20 dengan laju dekarbonisasi yang cukup cepat untuk mempertahankan kondisi iklim yang aman, menurut analisis baru oleh PwC.
Net Zero Economy Index tahun ini menunjukkan bahwa kemajuan dalam hal dekarbonisasi sangat jauh dari apa yang diperlukan untuk membatasi kenaikan suhu pemanasan global pada 1,5°C di atas level pra-industrialisasi, di mana sembilan dari 20 negara besar justru menunjukkan peningkatan intensitas karbon selama setahun terakhir.
Indeks tahun lalu menyatakan bahwa ke depan, laju dekarbonisasi global sebesar 12,9% diperlukan untuk membatasi kenaikan suhu pemanasan global pada 1,5°C, namun pada 2021, laju dekarbonisasi global hanya 0,5%, sedangkan rata-rata di kalangan negara-negara G20 – yang secara kolektif bertanggung jawab atas sekitar 80% emisi terkait energi secara global – hanya 0,2%, level terendahnya selama dua dekade.
Hal ini telah mendorong laju dekarbonisasi global yang kini dibutuhkan menjadi 15,2% secara year-on-year untuk memenuhi tujuan iklim yang diadopsi dalam Perjanjian Paris dan disahkan pada COP26 tahun lalu – terlepas dari adanya guncangan di masa depan, seperti krisis energi yang sedang berlangsung.
Laju yang ambisius ini, yang sebelas kali lebih cepat dari rata-rata global yang dicapai selama dua dekade terakhir, semakin diperumit oleh kondisi geopolitik dan ekonomi saat ini, yang mengarah pada risiko nyata terhadap kemajuan di masa depan menuju penurunan emisi.
Net Zero Economy Index PwC melacak kemajuan yang telah dicapai oleh negara-negara G20 untuk mengurangi emisi CO2 terkait energi dan mendekarbonisasi perekonomiannya. Hal ini dilakukan dengan mengukur tingkat konsumsi energi terhadap PDB, dan kandungan karbon dari energi tersebut.
Mengamati lebih dekat beberapa negara terdepan di dunia, Tiongkok mencapai penurunan 2,8% dalam intensitas karbon, sementara AS (+0,1%), India (+2,9%), Jepang (+0,6%), Jerman (+1,7%), dan Prancis (+1,4%) semuanya mengalami peningkatan, sebagian karena pemulihan dari pandemi.
Negara dengan kinerja terbaik adalah Afrika Selatan (-4,6%), disusul Australia (-3,3%), Tiongkok (-2,8%), Turki (-2,7%), Kanada (-2,2%), Arab Saudi (-1,8%) , Korea Selatan (-1,6%), dan Inggris Raya (-1,5%).
Indonesia pada khususnya mengalami penurunan tingkat intensitas karbon (-1,0%) pada tahun 2021, namun penurunan tersebut melambat dibandingkan dengan tahun 2020 (-6,2%) karena dampak pandemi.
Laporan tersebut mencatat bahwa tidak ada cara yang mutlak menuju net zero karena tiap-tiap negara bergerak pada kecepatan yang berbeda dengan cara yang berbeda pula. Namun pada akhirnya, semua negara harus mempercepat pengambilan tindakan, mengingat adanya kebutuhan mendesak untuk mengurangi intensitas karbon global sebesar 77% pada tahun 2030.
Yang menggembirakan adalah adanya konsensus yang berkembang di seluruh dunia dari pemerintah, investor, dan badan usaha tentang perlunya dekarbonisasi berskala besar dan percepatan peralihan ke bentuk-bentuk energi terbarukan.
Dunia bisnis terus mendorong agenda iklim melalui dekarbonisasi organisasinya sendiri, meningkatkan kinerja dan ketangguhan rantai pasokannya, dan menggunakan pengaruhnya terhadap pihak-pihak lain - contohnya, lebih dari 3.000 badan usaha dan lembaga keuangan bekerja sama dengan Science Based Targets initiative (SBTi) untuk mengurangi emisi dengan menetapkan target berbasis sains.
Meskipun para pembuat kebijakan berada di bawah tekanan untuk memastikan pasokan energi yang aman dan terjangkau, ada peluang untuk menggunakan faktor-faktor pendisrupsi untuk memperkuat alasan bagi investasi net zero.
Kenaikan harga energi dan terancamnya ketersediaan pasokan telah memicu perburuan bahan bakar fosil dalam jangka pendek; tetapi memperkuat alasan untuk berinvestasi dalam kapasitas energi terbarukan untuk jangka panjang.
Demikian halnya, alasan finansial untuk efisiensi energi telah menguat, terutama di sektor-sektor dengan konsumsi energi yang tinggi dan sulit untuk dikurangi. Dunia bisnis akan mencari cara untuk mengurangi konsumsi energi, sambil menggunakan energi secara lebih efektif, yang mengisyaratkan kemungkinan adanya titik balik dalam paradigma kita tentang energi.
Emma Cox, Global Climate Leader dari PwC UK, berkomentar: “Pesan dari Net Zero Economy Index kita jelas: kita perlu mempercepat laju dekarbonisasi secara signifikan dengan kecepatan tinggi dan dalam skala besar jika kita ingin memiliki peluang untuk membatasi kenaikan suhu pemanasan global pada 1,5°C. Kita telah melihat adanya keinginan yang kuat untuk perubahan, namun keinginan ini dilatarbelakangi kondisi geopolitik dan ekonomi yang rapuh. Melonjaknya harga energi, dan kebutuhan untuk merangsang pertumbuhan ekonomi setelah pandemi, telah menghambat kemajuan baru-baru ini.”
Julian Smith, ESG, Government & Infrastructure Advisor dari PwC Indonesia, menambahkan, “Selama dua dekade terakhir, negara-negara yang pada awalnya memiliki intensitas energi tertinggi biasanya mengalami penurunan awal terbesar dalam intensitas energi, ditambah dengan dekarbonisasi bauran bahan bakarnya yang cenderung minim peningkatan.”
“Hal ini kemungkinan disebabkan oleh berbagai faktor, seperti perubahan aktivitas ekonomi, kebijakan dan standar untuk mendorong efisiensi, peningkatan peralatan modal, dan modernisasi. Dalam beberapa tahun terakhir, karena sumber energi terbarukan menjadi lebih terjangkau, fokus dari negara-negara ini telah menyertakan peralihan dalam bauran bahan bakarnya ke sumber-sumber energi terbarukan.”
Catatan untuk editor
Tujuan utama Net Zero Economy Index adalah untuk menghitung intensitas karbon nasional dan global (CO2/PDB), dan melacak laju perubahan yang diperlukan untuk membatasi kenaikan suhu pemanasan global pada 1,5°C.
Untuk melakukan hal ini, kami menggunakan anggaran karbon IPCC untuk menghitung berapa banyak emisi yang perlu dikurangi di masa depan, dan membaginya dengan proyeksi peningkatan PDB. Dengan demikian, kita dapat melihat jumlah emisi yang harus dikurangi untuk mempertahankan proyeksi pertumbuhan PDB, serta mendapatkan wawasan tentang skala upaya yang diperlukan untuk memisahkan emisi dari pertumbuhan ekonomi.
Tentang PwC Indonesia
PwC Indonesia terdiri dari KAP Tanudiredja, Wibisana, Rintis & Rekan, PT PricewaterhouseCoopers Indonesia Advisory, PT Prima Wahana Caraka, PT PricewaterhouseCoopers Consulting Indonesia, dan Melli Darsa & Co., Advocates & Legal Consultants, masing-masing sebagai entitas hukum dan firma anggota yang terpisah, dan semuanya secara bersama-sama membentuk firma anggota Indonesia dari jaringan global PwC, yang secara bersama-sama disebut sebagai PwC Indonesia.
Tentang PwC
Di PwC, kami bertujuan membangun kepercayaan dalam masyarakat dan memecahkan masalah-masalah penting. Kami adalah jaringan firma yang terdapat di 152 negara dengan lebih dari 328.000 orang yang berkomitmen untuk memberikan jasa assurance, advisory, dan pajak yang berkualitas. Temukan lebih banyak informasi dan sampaikan hal-hal yang berarti bagi Anda dengan mengunjungi situs kami di www.pwc.com.
PwC merujuk pada jaringan PwC dan/atau satu atau lebih firma anggotanya, masing-masing sebagai entitas hukum yang terpisah. Kunjungi www.pwc.com/structure untuk informasi lebih lanjut.
© PwC 2022. Hak cipta dilindungi undang-undang.