● Tingkat dekarbonisasi tahunan untuk membatasi pemanasan global hingga 1,5°C telah meningkat hingga menjadi 20,4%
● Tidak ada negara G20 yang mencapai tingkat dekarbonisasi lebih dari 11,5% sejak tahun2000
● Meskipun kapasitas energi terbarukan meningkat sebesar 14% pada tahun 2023, permintaan energi yang melonjak menyebabkan peningkatan konsumsi bahan bakar fosil sebesar 1,5%, yang dapat menghambat kemajuan
Jakarta, 18 Oktober 2024 – Menurut analisa terbaru dari PwC, intensitas karbon hanya turun 1,02%
pada tahun 2023, yang merupakan penurunan terkecil sejak 2011. Penurunan ini menunjukkan
adanya hambatan dalam upaya memisahkan pertumbuhan ekonomi dan emisi karbon.
Net Zero Economy Index terbaru dari PwC mengungkapkan bahwa tingkat dekarbonisasi tahunan
sebesar 20,4% (naik dari 17,2% tahun lalu) sekarang diperlukan untuk membatasi pemanasan global
hingga 1,5°C di atas tingkat pra-industri. Ini berarti, dunia harus menurunkan karbonisasi dua puluh
kali lebih cepat daripada yang dicapai tahun lalu (1,02%).
Untuk memberikan perspektif, sejak tahun 2000, tidak ada negara G20 yang mencapai tingkat
dekarbonisasi lebih dari 11,5% dalam satu tahun, dimana tingkat tertinggi dicapai oleh Perancis pada
tahun 2014 (-11,08%).
Melebihi batas 1,5°C semakin menjadi kenyataan dan membatasi pemanasan hingga 2°C, batas
terendah dari ambisi Perjanjian Paris, juga memerlukan perubahan besar dengan tingkat
dekarbonisasi tahunan sebesar 6,9%.
Emma Cox, Global Climate Leader di PwC, mengatakan, “Jika kita tidak mengambil tindakan
berani, kita berisiko mengalami pemanasan lebih dari 1,5°C dan semakin besar melampaui batas,
maka semakin parah dampaknya. Meskipun ada peringatan ini, kesenjangan antara tujuan dan
tindakan semakin besar. Tanpa kerja sama global, kemungkinan untuk menjaga pemanasan global di
bawah batas aman akan hilang. Untuk mencapai perubahan yang diperlukan, kita harus memperluas
penggunaan energi terbarukan, mengelola permintaan energi dengan lebih baik, dan meningkatkan
dukungan finansial dan teknis untuk transisi yang adil.”
Sekarang memasuki tahun ke-16, PwC Net Zero Economy Index melacak pertumbuhan ekonomi dan
data emisi CO2 terkait energi, terhadap tingkat yang diperlukan untuk mencapai target Perjanjian
Paris. Indeks ini menilai bagaimana ekonomi berkembang dalam memutuskan hubungan antara
pertumbuhan ekonomi dan peningkatan emisi karbon terkait energi.
Kapasitas energi terbarukan meningkat, tetapi bahan bakar fosil masih dominan
Permintaan energi yang terus meningkat melampaui adopsi energi terbarukan, mengakibatkan
penggunaan bahan bakar fosil yang lebih tinggi untuk menopang ekonomi. Tahun lalu, kapasitas
energi terbarukan mencapai rekor tertinggi, meningkat sebesar 14% menjadi 3.870 gigawatt (GW)
dari 2022 hingga 2023. Namun, konsumsi bahan bakar fosil juga meningkat sebesar 1,5% pada
tahun 2023, mencapai 16.007 GW. Akibatnya, faktor bahan bakar global, yang mengukur emisi per
unit energi yang dikonsumsi, naik sebesar 0,07%. Ini menunjukkan sedikit peningkatan proporsi
bahan bakar fosil dalam campuran energi, karena kenaikan permintaan energi melampaui
pertumbuhan kapasitas energi terbarukan yang baru. Tantangan ekonomi seperti inflasi, ketegangan
geopolitik, dan suku bunga yang lebih tinggi semakin mempersulit transisi dari bahan bakar fosil,
karena negara-negara menghadapi tantangan jangka pendek.
Permintaan energi yang melonjak berisiko merusak pertumbuhan energi terbarukan
Energi terbarukan diperkirakan akan menjadi sumber listrik terbesar pada tahun 2025. Namun,
peningkatan permintaan energi yang diharapkan dari negara-negara berkembang, upaya adaptasi
iklim, elektrifikasi sistem transportasi, kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI), dan pusat data
kemungkinan akan meningkatkan konsumsi energi. Tanpa efisiensi energi yang lebih baik dan
pengelolaan permintaan, faktor-faktor ini dapat merusak keuntungan yang diperoleh dari peningkatan
energi terbarukan dengan memaksa ketergantungan yang terus berlanjut pada bahan bakar fosil.
Sacha Winzenried, PwC Indonesia Energy, Utilities & Resources dan Energy Transition
Leader, menambahkan, “Laporan ini juga menyoroti bahwa motor listrik berkecepatan tinggi, dengan
peringkat Efisiensi Internasional (IE3 dan di atasnya), dapat mengurangi intensitas energi hingga 90%
dalam proses industri. AI juga memainkan peran penting dengan mengoptimalkan kinerja jaringan
listrik dan meningkatkan perkiraan pasokan dan permintaan listrik. Namun, konsumsi energi AI dan
pusat data diproyeksikan akan berlipat ganda pada tahun 2026, sehingga diperlukan sistem energi
yang lebih efisien dan ramah lingkungan untuk mencegah memperburuk masalah. Kemitraan publik-
swasta dan adopsi teknologi hemat energi sangat penting untuk mempercepat transisi ke energi
terbarukan dan memastikan masa depan energi yang berkelanjutan."
Pengurangan intensitas energi menawarkan peluang untuk mempercepat aksi
Mengurangi intensitas energi dan mengelola permintaan dengan lebih efektif menawarkan peluang
bagi bisnis dan pemerintah untuk mempercepat tindakan. Penelitian terbaru kami dengan World
Economic Forum menemukan bahwa teknologi saat ini dapat memungkinkan dunia mengurangi
kebutuhan energinya sekitar sepertiga (31%) tanpa mengurangi output ekonomi. Ini bisa
menghasilkan penghematan tahunan hingga US$2 triliun (dengan harga energi saat ini) jika langkah-
langkah tersebut diambil secara besar-besaran pada akhir dekade ini*.
Mengomentari peluang ini, Will Jackson-Moore, Global Sustainability Leader di PwC,
mengatakan, “Meningkatkan kemitraan publik dan swasta dapat membantu mengelola permintaan
energi secara efektif. Bisnis dapat memimpin dalam menggunakan teknologi hemat energi,
mengadopsi model bisnis sirkular, dan meningkatkan proses manufaktur. Pada saat yang sama,
pemerintah dapat memperbarui kebijakan energi mereka untuk fokus pada pengurangan permintaan
di area penting seperti bangunan, industri, dan transportasi. Dengan menyelaraskan kebijakan
pemerintah dengan inovasi bisnis, kita dapat bekerja menuju masa depan energi yang aman.
Kolaborasi akan menjadi kunci dalam agenda ini.”
Dukungan finansial dan teknologi penting untuk transisi yang adil
Perbedaan tingkat dekarbonisasi antara negara maju dan berkembang pada tahun 2023
memfokuskan perlunya dukungan finansial yang lebih besar untuk memastikan transisi yang adil.
Tahun lalu, negara-negara G7 mengurangi intensitas karbon mereka sebesar 5,31%, sementara E7
mengalami peningkatan sebesar 0,04%. Negara-negara yang sedang mengalami industrialisasi cepat
menghadapi tantangan besar tanpa sumber daya dari negara-negara yang lebih kaya.
Yuliana Sudjonno, PwC Indonesia Partner & Sustainability Leader, menambahkan, “Indonesia,
menghadapi tantangan signifikan dalam beralih dari bahan bakar fosil, meskipun ada upaya yang
sedang berlangsung untuk meningkatkan energi terbarukan. Inisiatif seperti Just Energy Transition
Partnership (JETP) sangat penting dalam mendukung Indonesia dan ekonomi berkembang lainnya.
Namun, inisiatif ini memerlukan komitmen finansial yang lebih kuat. Pada COP28, para pemimpin
global berkomitmen untuk menggandakan tingkat pertumbuhan efisiensi energi tahunan rata-rata dari
2% menjadi 4% pada tahun 2030, sesuai dengan Net Zero IEA. Secara khusus, negara-negara G20,
termasuk Indonesia, telah membuat kemajuan signifikan, dengan negara-negara ini mempertahankan
peningkatan rata-rata sebesar 4% atau lebih selama periode lima tahun berturut-turut dalam
beberapa tahun terakhir. Upaya kolektif ini sangat penting untuk mencapai tujuan iklim global, karena
transisi Indonesia membutuhkan dukungan finansial dan teknologi yang ditingkatkan dari negara-
negara maju.”
Emma Cox, Global Climate Leader di PwC, menyimpulkan, “Seiring mendekatnya COP29, kita
sangat membutuhkan New Collective Quantified Goal (NCQG) yang ambisius dalam hal pembiayaan
untuk memberdayakan negara-negara berkembang dalam mencapai tujuan iklim mereka. Menyetujui
target finansial yang adil dan ambisius sangat penting untuk mendukung negara-negara berkembang
dalam tindakan mereka, memungkinkan mereka untuk meningkatkan Kontribusi yang Ditentukan
Secara Nasional (NDC) mereka pada tahun 2025 dan seterusnya.”
Tentang PwC Indonesia
PwC Indonesia terdiri dari KAP Rintis, Jumadi, Rianto & Rekan, PT PricewaterhouseCoopers
Indonesia Advisory, PT Prima Wahana Caraka, PT PricewaterhouseCoopers Consulting Indonesia,
dan PwC Legal Indonesia, masing-masing sebagai entitas hukum dan firma anggota yang terpisah
dan independen, dan semuanya secara bersama-sama merupakan perusahaan anggota jaringan
global PwC, yang secara kolektif disebut sebagai PwC Indonesia. Kunjungi website kami di
www.pwc.com/id
Tentang PwC
Di PwC, kami bertujuan membangun kepercayaan dalam masyarakat dan memecahkan masalah-
masalah penting. Kami adalah jaringan firma yang terdapat di 151 negara dengan lebih dari 360.000
orang yang berkomitmen untuk memberikan jasa assurance, advisory, dan pajak yang berkualitas.
Temukan lebih banyak informasi dan sampaikan hal-hal yang berarti bagi anda dengan mengunjungi situs kami di www.pwc.com.
PwC merujuk pada jaringan PwC dan/atau satu atau lebih firma anggotanya, masing-masing sebagai
entitas hukum yang terpisah. Kunjungi www.pwc.com/structure untuk informasi lebih lanjut.
© PwC 2024. Hak cipta dilindungi undang-undang.