Jakarta, 14 November 2024 – Dalam beberapa tahun terakhir, industri kendaraan listrik (electric vehicle/EV) di Asia Pasifik telah melonjak. Tiongkok memimpin dalam penggunaan dan produksi, Jepang unggul dalam penjualan hibrida, dan pasar India mulai menyusul. Di Indonesia, peralihan ke EV telah menunjukkan perkembangan positif.
Hari ini, PwC Indonesia meluncurkan studi mengenai kesiapan kendaraan listrik Indonesia di 2024 untuk mempresentasikan kondisi adopsi EV saat ini, pendorong transformasi, tantangan, dan perspektif konsumen di berbagai segmen. Sebagai bagian dari studi global di 27 wilayah, ini memungkinkan perbandingan antara Indonesia dan pasar lain di Asia Pasifik (APAC), Amerika Latin (LATAM), Amerika Utara (NA), Eropa, Timur Tengah dan Afrika (EMEA).
EV di seluruh dunia
Secara global, pasar EV mengalami pertumbuhan yang didorong oleh meningkatnya kepedulian lingkungan, insentif pemerintah, dan kemajuan teknologi. Pasar utama, seperti Tiongkok, Eropa, dan Amerika Serikat, memimpin dalam adopsi EV, dengan kebijakan kuat yang mendukung transisi ke mobilitas listrik. Pada tahun 2030, banyak negara telah menetapkan target ambisius untuk menghapus Mesin Pembakaran Dalam (Internal Combustion Engines/ICE), yang semakin mendorong industri EV.
Dalam hal minat konsumen terhadap EV, angkanya meningkat: Lebih dari 60% responden berencana membeli EV dalam lima tahun mendatang, dengan variasi regional yang signifikan. Minat tinggi diamati di Tiongkok, India, Indonesia, Amerika Latin, Timur Tengah, dan Afrika (70-80% prospek EV), sementara Jepang menunjukkan minat yang lebih rendah (21% prospek EV).
Di kawasan Asia Pasifik, Tiongkok berada di garis depan, dengan investasi besar dalam infrastruktur dan manufaktur EV. Kawasan ini juga merupakan rumah bagi produsen baterai utama dan produsen otomotif yang fokus pada mobilitas listrik.
Pasar di Indonesia
Dengan sumber daya nikel melimpah yang merupakan bahan baku penting untuk baterai, Indonesia siap menjadi pemain kunci di pasar baterai EV, sehingga dapat menarik investasi dan pengembangan yang signifikan. Hendra Lie, PwC
Indonesia Automotive Leader, menambahkan, "Dengan menerapkan kebijakan strategis dan menawarkan insentif yang menarik, Indonesia tidak hanya dapat meningkatkan kemampuan pengolahan nikel tetapi juga mendorong pertumbuhan manufaktur EV dan baterai domestik. Ini menempatkan Indonesia sebagai kontributor utama dalam pergeseran global menuju transportasi berkelanjutan."
Studi ini mengidentifikasi tiga segmen responden di pasar: pemilik EV, prospek EV, dan skeptis EV. Dengan hanya 7% responden yang sudah memiliki EV, 93% sisanya terbagi antara 78% yang berniat membeli satu dalam lima tahun ke depan dan 15% yang tetap skeptis. Selain itu, 60% responden pemilik EV adalah perempuan, 51% prospek EV adalah perempuan, dan 55% skeptis EV adalah laki-laki. Dinamika ini menyoroti potensi pasar Indonesia yang belum terjamah, yang jika dimanfaatkan secara efektif, dapat menempatkan negara ini sebagai salah satu pemimpin di kawasan ini.
Semua pemilik EV (7%) membeli kendaraan mereka melalui dealer dan 93% pemilik EV saat ini sangat puas dengan kendaraan mereka. Faktor utama kepuasan adalah 68% puas dengan durasi pengisian, 43% dengan biaya operasional yang lebih rendah, dan 35% puas dengan ketersediaan tempat parkir. Secara global, Indonesia (93%) memiliki salah satu tingkat kepuasan EV tertinggi, dibandingkan dengan, antara lain, 98% dari Tiongkok, dan 80% dari Jepang.
Prospek EV (78%) cenderung mempertimbangkan biaya, lingkungan, dan kenyamanan dalam membeli EV. Biaya adalah faktor pendorong terpenting dengan 73%, membuktikan bahwa konsumen masih memperhatikan harga saat melakukan investasi dalam teknologi yang relatif baru. Kepedulian lingkungan berada di tempat kedua dengan 47% dan diikuti oleh kenyamanan dengan 44%.
Biaya sebagai faktor utama di Indonesia (73%) lebih tinggi dibandingkan Tiongkok dan India (57%). Konsumen Indonesia ditemukan lebih dipengaruhi oleh aspek lingkungan positif dari EV dibandingkan dengan negara lain di Asia Pasifik.
Hendra menambahkan, "Akan tetapi, prospek EV tetap khawatir tentang waktu pengisian, jangkauan berkendara yang terbatas, dan masa pakai baterai. Durasi pengisian yang lama mengkhawatirkan 60% responden prospektif EV, terutama selama perjalanan jauh atau jadwal yang sibuk. Selain itu, 59% calon pembeli mengalami 'kecemasan jangkauan,' takut mereka kehabisan baterai sebelum mencapai stasiun pengisian. Meskipun ada perbaikan dalam teknologi baterai, 47% calon pembeli masih tidak yakin tentang umur panjang dan kinerja baterai dari waktu ke waktu, yang mempengaruhi kepercayaan mereka dalam investasi jangka panjang pada EV."
Skeptis EV adalah kelompok terkecil kedua (15%) tetapi mewakili tantangan signifikan bagi pasar EV di Indonesia. Hambatan kritis bagi skeptis EV termasuk kekhawatiran tentang jangkauan berkendara yang terbatas (75%), waktu pengisian yang lama (51%), dan ketidakpastian masa pakai baterai EV (46%). Hanya 37% tinggal di daerah pinggiran kota dan melakukan perjalanan rata-rata 23 km per hari. Skeptisisme mereka diperparah oleh kurangnya kepercayaan pada infrastruktur dan teknologi saat ini serta biaya awal yang lebih tinggi dibandingkan dengan kendaraan ICE tradisional.
Temuan signifikan lainnya adalah bahwa pasar EV bekas di Indonesia masih dalam tahap awal. Berbeda dengan wilayah yang lebih berkembang, di mana EV bekas populer, hanya 20% pemilik saat ini di Indonesia yang tertarik membeli EV bekas. Pemilik EV khawatir tentang degradasi baterai (55%) dan kerusakan tersembunyi yang mungkin muncul di masa depan (53%), serta kurangnya garansi (45%).
Di pasar EV bekas, peluang meliputi peningkatan pasokan, pengalaman konsumen, jaminan after sales, dan kemajuan teknologi. Namun, tantangan seperti kekhawatiran tentang masa pakai baterai dan biaya penggantian, kesadaran yang terbatas, kurangnya stasiun pengisian, dan tingkat depresiasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan kendaraan tradisional masih ada. Secara global, 80-90% konsumen di Meksiko, Brasil, Timur Tengah, dan Afrika menganggap nilai sisa sebagai faktor kunci saat membeli kendaraan. Di Asia Pasifik, Indonesia memiliki kekhawatiran tertinggi tentang nilai sisa sebesar 73%, diikuti oleh Jepang sebesar 60%, Tiongkok sebesar 63%, dan India sebesar 64%.
Catatan untuk editor
Studi PwC Indonesia's Electric Vehicle Readiness and Consumer Insights 2024 mengeksplorasi kesiapan untuk kendaraan listrik (EV) pada tahun 2024, dengan fokus pada elemen-elemen kritis seperti pasar EV yang ada, demografi konsumen, dan pola adopsi. Terminologi yang digunakan dalam laporan ini mencakup: "Pemilik," yang menunjukkan individu yang saat ini memiliki EV; "Prospek," mengacu pada mereka yang telah menunjukkan niat kuat untuk membeli EV dalam lima tahun ke depan; dan "Skeptis," mewakili individu yang telah menyatakan bahwa mereka tidak berencana untuk membeli EV dalam lima tahun ke depan.
Tentang PwC Indonesia
PwC Indonesia terdiri dari KAP Rintis, Jumadi, Rianto & Rekan, PT PricewaterhouseCoopers Indonesia Advisory, PT Prima Wahana Caraka, PT PricewaterhouseCoopers Consulting Indonesia, dan PwC Legal Indonesia, masing-masing sebagai entitas hukum dan firma anggota yang terpisah dan independen, dan semuanya secara bersama-sama merupakan perusahaan anggota jaringan global PwC, yang secara kolektif disebut sebagai PwC Indonesia. Kunjungi website kami di www.pwc.com/id
Tentang PwC
Di PwC, kami bertujuan membangun kepercayaan dalam masyarakat dan memecahkan masalah-masalah penting. Kami adalah jaringan firma yang terdapat di 149 negara dengan lebih dari 370.000 orang yang berkomitmen untuk memberikan jasa assurance, advisory, dan pajak yang berkualitas. Temukan lebih banyak informasi dan sampaikan hal-hal yang berarti bagi Anda dengan mengunjungi situs kami di www.pwc.com.
PwC merujuk pada jaringan PwC dan/atau satu atau lebih firma anggotanya, masing-masing sebagai entitas hukum yang terpisah. Kunjungi www.pwc.com/structure untuk informasi lebih lanjut.
© PwC 2024. Hak cipta dilindungi undang-undang.