PwC Indonesia: AI Beri Peluang Efisiensi dan Tantangan Keamanan Siber

Dalam perbincangan seputar perkembangan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) , Joe Atkinson, PwC Global Chief AI Officer, memberikan wawasan mendalam tentang potensi dan tantangan yang dihadapi dalam penerapan teknologi ini, khususnya melalui sudut pandang pengguna dan perusahaan.

Ia menyoroti betapa cepatnya adopsi AI oleh masyarakat, tetapi juga mengingatkan bahwa kita baru saja memulai perjalanan panjang transformasi AI yang sebenarnya. Menurut Joe, Rabu (11/9/2024), lebih dari dua juta orang menggunakan teknologi generatif, seperti ChatGPT setiap minggunya.

Angka yang terus bertambah ini mencerminkan betapa cepat dan luasnya penerimaan teknologi ini di berbagai kalangan. Meski begitu, ia berpendapat bahwa dunia belum mencapai puncak dari pemanfaatan teknologi ini. "Kita melihat banyak adopsi, tetapi belum merasakan dampak transformasi bisnis yang sebenarnya," kata Joe.

Ia menegaskan, teknologi ini baru berada di awal perjalanan evolusinya. Joe juga menjelaskan, salah satu tantangan terbesar dalam perkembangan AI adalah menghadapi apa yang ia sebut sebagai “siklus hype”. Banyak orang sering terjebak dalam ekspektasi berlebihan terhadap dampak jangka pendek dari teknologi baru, yang pada akhirnya bisa menyebabkan kekecewaan karena hasil yang tidak sesuai dengan harapan awal.

Namun, di sisi lain, orang cenderung meremehkan dampak teknologi ini dalam jangka panjang. Pandangan ini didukung oleh apa yang dikenal sebagai Hukum Amara, yang sering dikutip Joe dalam berbagai kesempatan. Hukum ini menyatakan, manusia memiliki kecenderungan untuk melebih-lebihkan dampak teknologi baru dalam waktu dekat, tetapi meremehkan pengaruhnya dalam jangka panjang.

Dalam konteks AI, Joe menilai bahwa orang mengharapkan hasil yang cepat, terutama dalam hal dampak langsung ke bisnis dan perusahaan. Meski teknologi ini berkembang jauh lebih cepat daripada yang pernah terjadi sebelumnya, mengintegrasikan AI ke dalam dunia bisnis bukanlah proses yang instan.

"Untuk mengimplementasikan AI ke dalam bisnis, mengubah cara kerja yang sebenarnya, itu membutuhkan waktu,” ujarnya.

Ia menjelaskan, mengadopsi AI di level korporasi melibatkan banyak elemen yang kompleks, seperti sumber daya manusia (SDM), proses, infrastruktur, kontrak, dan berbagai elemen lain yang tidak bisa diabaikan.

Meski demikian, ia optimistis bahwa transformasi ini sedang berlangsung. "Ada banyak eksperimen yang sedang terjadi saat ini."

Beberapa inovasi AI mungkin akan bertahan dan membentuk masa depan bisnis, tetapi ada juga yang kemungkinan akan ditinggalkan sebagai eksperimen yang tidak berhasil. Namun, menurutnya, eksperimen ini adalah bagian dari proses penting untuk memahami batasan dan potensi teknologi AI di dunia bisnis.

Joe juga mengamati, meskipun lebih dari dua juta konsumen telah memanfaatkan teknologi AI, adopsi oleh perusahaan masih berada dalam tahap awal. Namun, ia percaya bahwa adopsi perusahaan terhadap AI akan semakin meningkat di masa mendatang.

Peluncuran teknologi AI di kalangan konsumen membantu industri memahami kekuatan dan risiko dari teknologi tersebut. Setelah teknologi ini menjadi lebih matang, perusahaan akan mengadopsinya dan mulai menerapkannya dalam operasi bisnis mereka.

Yang menarik, Joe menilai, perkembangan ini tidak hanya akan menguntungkan perusahaan, tetapi juga konsumen. Teknologi AI yang diterapkan di perusahaan sudah digunakan untuk memberikan layanan yang lebih baik kepada konsumen, meningkatkan customer experience, dan mempercepat proses dalam berinteraksi dengan bisnis.

Minat besar pada AI

Dari perspektif lokal, Chief Digital & Technology Officer PwC Indonesia, Subianto, mencatat hasil survei terbaru PwC terhadap para CEO di Indonesia. Hasil survei ini menunjukkan, lebih dari setengah CEO Indonesia yakin bahwa AI generatif (GenAI) akan membantu mereka dalam membangun kepercayaan, serta meningkatkan kualitas produk dan layanan yang mereka tawarkan.

Selain itu, survei tersebut mengungkapkan, banyak CEO yang bersemangat untuk mengadopsi teknologi AI guna meningkatkan efisiensi dan kinerja bisnis mereka. “Antusiasme dari kalangan perusahaan baru saja dimulai,” kata Subianto.

Ia juga menyampaikan bahwa dalam acara “Amplify Your Business with Generative AI” yang dihadiri lebih dari 150 senior eksekutif yang merupakan klien PwC Indonesia, para senior eksekutif tersebut menunjukkan antusiasme besar terhadap adopsi teknologi AI di berbagai industri mereka antara lain perbankan, telekomunikasi, asuransi, migas, manufaktur, dan industri lainnya. Mereka secara aktif mempelajari di mana posisi mereka dalam perjalanan adopsi AI, mulai dari tahap yang belum memulai hingga yang sudah mengintegrasikan teknologi ini ke dalam bisnis mereka.

“Antusiasme ini menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan di seluruh dunia, termasuk Indonesia, sedang memulai adopsi AI sebagai bagian integral dari operasi bisnis mereka,” terang Subianto.

Ia kembali menegaskan, kita masih berada di awal dari revolusi AI. Namun, ia yakin bahwa dengan kemajuan teknologi, keamanan, dan kualitas aplikasi AI di dunia bisnis akan berkembang pesat dalam beberapa tahun ke depan. Transformasi ini perlu didukung oleh pemahaman atas potensi resiko dari pemakaian teknologi AI seperti perlindungan data pribadi, ancaman siber beserta peningkatan kompetensi SDM, yang akan menghasilkan dampak positif yang signifikan bagi perusahaan dan konsumen secara keseluruhan.

“Kami sendiri telah mulai mengadopsi GenAI, yang kami sebut ChatPwC yang dirancang khusus untuk penggunaan eksklusif di seluruh jaringan global PwC. ChatPwC merupakan chatbot untuk menjawab pertanyaan dan percakapan berbagai topik, menggunakan pengetahuan publik dan data dokumen yang diunggah pengguna yang dapat meringkas konten dan memberikan wawasan berdasarkan informasi yang dimasukkan. ChatPwC menjamin privasi dengan tidak menyimpan prompt, dokumen yang diunggah, atau output, serta tidak memberikan informasi ini dengan pihak ketiga”, lanjut Subianto.

Menurutnya, sekitar 98 persen dari partner dan staf PwC Indonesia telah menggunakan ChatPwC dalam keseharian mereka. Hasilnya telah menunjukkan adanya peningkatan pengguna aktif. “Kami terus mengidentifikasi contoh penggunaan (use cases) yang tepat bagi kami untuk melayani klien kami dengan lebih baik serta untuk keperluan internal kami,” terang Subianto.

Tantangan besar

Di sisi lain, merujuk pada survei PwC Global CEO Survey ke-27 - Indonesia Result , Eddy Rintis, Territory Senior Partner PwC Indonesia, mengungkapkan, 53 persen CEO di Indonesia memang belum menerapkan teknologi GenAI dalam 12 bulan terakhir. Namun, ke depan, 57 persen dari mereka berharap GenAI dapat memperkuat kepercayaan pemangku kepentingan dan 56 persen percaya bahwa teknologi ini akan meningkatkan kualitas produk atau layanan.

Survei PwC Global “CEO Survey ke-27 - Indonesia Result” juga memperlihatkan, mayoritas CEO Indonesia optimistis terhadap potensi GenAI untuk meningkatkan daya saing (76 persen), mengubah model bisnis (72 persen), dan memerlukan pengembangan keahlian baru di tenaga kerja (69 persen) dalam tiga tahun ke depan. Industri teknologi, media, komunikasi, layanan keuangan, serta sektor industri dan jasa diprediksi menjadi yang paling terdampak oleh peningkatan efisiensi melalui GenAI.

Namun, tantangan besar juga muncul, termasuk risiko disinformasi dan ancaman siber. Sebanyak 60 persen responden di Asia Pasifik, termasuk Indonesia, meyakini bahwa GenAI dapat meningkatkan serangan siber dalam setahun ke depan, dan 17 persen menyebut disinformasi sebagai ancaman serius.

PwC menekankan pentingnya menerapkan praktik AI yang bertanggung jawab sejak awal, dengan menyoroti perlunya pandangan holistik terhadap GenAI untuk memitigasi risiko dan memaksimalkan peluang.

Follow PwC Indonesia