15 Maret 2021 – Kita berada dalam tahun di mana bisnis harus mengubah caranya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan lingkungan, khususnya bisnis milik keluarga yang berisiko tertinggal, menurut survei PwC global terbaru terhadap 2.801 pemilik bisnis keluarga, di mana 75 respondennya berasal dari Indonesia.
Meskipun lebih dari separuh (55%) responden melihat potensi bahwa bisnisnya dapat memimpin dalam hal program keberlanjutan, hanya 37% yang sudah menetapkan strategi. Bisnis Eropa dan Amerika tertinggal dari Asia dalam hal komitmen untuk memprioritaskan kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan dalam strategi bisnisnya. Sebanyak 79% responden di Tiongkok dan 78% di Jepang melaporkan bahwa mereka ‘menempatkan program keberlanjutan sebagai inti kegiatan dari semua yang dilakukan’ dibandingkan dengan 23% di AS dan 39% di Inggris. Bisnis yang lebih besar dan yang dimiliki oleh generasi selanjutnya juga melawan tren, dengan fokus yang lebih besar pada program berkelanjutan.
Keengganan untuk merangkul program berkelanjutan ini muncul meskipun bisnis milik keluarga sangat mungkin menyadari adanya tanggung jawab yang harus dipenuhi kepada masyarakat. Lebih dari 80% terlibat dalam aktivitas tanggung jawab sosial yang proaktif, dan 71% berusaha mempertahankan staf sebanyak mungkin selama pandemi. Namun, masalahnya adalah pemikiran yang semakin ketinggalan zaman tentang bagaimana bisnis harus merespons masyarakat, di mana 76% bisnis keluarga di AS dan 60% di Inggris lebih menekankan pada kontribusi langsung, seringkali melalui prakarsa-prakarsa filantropis, daripada melalui pendekatan strategis untuk masalah ESG (Environmental, Social, and Governance/Lingkungan, Sosial, dan Tata Kelola). Bisnis keluarga juga cukup terlindungi dari tekanan investor yang saat ini mendorong perusahaan publik untuk menempatkan ESG pada inti rencana jangka panjang demi mencapai kesuksesan komersial.
Peter Englisch, Global Family Business Leader di PwC berkata, “Jelas bahwa bisnis keluarga secara global memiliki komitmen yang kuat untuk tujuan sosial yang lebih luas. Namun, ada tekanan yang semakin besar dari pelanggan, pemberi pinjaman, pemegang saham, dan bahkan karyawan, untuk menunjukkan dampak yang bermakna dalam isu-isu seputar tanggung jawab sosial perusahaan dan ESG yang lebih luas. Banyak perusahaan terbuka yang telah mulai memberikan respons tetapi survei ini menunjukkan bahwa bisnis keluarga memiliki pendekatan yang lebih tradisional terhadap kontribusi sosial. Bisnis keluarga harus beradaptasi dengan ekspektasi yang terus berubah dan, jika gagal, hal itu dapat menciptakan potensi risiko bisnis. Ini bukan hanya tentang memulai komitmen untuk berbuat baik, tetapi menetapkan target dan pelaporan yang bermakna yang menunjukkan pemahaman yang jelas tentang nilai dan tujuan bisnis tersebut dalam membantu ekonomi dan masyarakat untuk membangun kembali dengan lebih baik.”
Pertumbuhan
Survei tersebut menunjukkan bahwa bisnis keluarga telah berhasil mengatasi pandemi dengan relatif baik. Kurang dari setengah (46%) memperkirakan penjualan akan turun meskipun terjadi pandemi dan responden survei merasa optimis dengan kemampuan bisnisnya untuk bertahan dan terus tumbuh pada tahun 2021 dan 2022. Target pertumbuhan di Indonesia sedikit berbeda; cukup ambisius untuk tahun 2022 namun lebih berhati-hati untuk tahun 2021. Sebanyak 65% bisnis keluarga Indonesia berharap mengalami pertumbuhan pada tahun 2021 (sama dengan rata-rata global) tetapi 93% memperkirakan baru akan melihat pertumbuhan pada tahun 2022 (dibandingkan dengan 86% secara global).
Dalam hal kinerja, bisnis keluarga Indonesia menunjukkan performa yang bervariasi selama tahun keuangan terakhir (sebelum COVID-19), di mana 51% mengalami pertumbuhan dan 25% mengalami penurunan penjualan. Sebanyak 60% bisnis keluarga di Indonesia memperkirakan COVID-19 akan menyebabkan penurunan penjualan, jauh lebih tinggi dari rata-rata global (46%).
Dari hasil survei bisnis keluarga Indonesia, Irhoan Tanudiredja, Entrepreneurial and Private Business Leader PwC Indonesia menyampaikan bahwa, “Prioritas utama yang dihadapi bisnis keluarga Indonesia selama dua tahun ke depan adalah ekspansi ke pasar/segmen klien baru, mengubah/mengadaptasi model bisnis, meningkatkan penggunaan teknologi baru dan melindungi bisnis inti untuk kelangsungan perusahaan. Bisnis keluarga membutuhkan pendekatan baru untuk kesuksesan yang langgeng - transformasi digital yang dipercepat, tujuan program keberlanjutan, dan tata kelola keluarga yang profesional.”
Bisnis keluarga tertinggal dalam hal transformasi digital
Meskipun 80% bisnis keluarga beradaptasi dengan tantangan pandemi COVID-19 yang memungkinkan karyawan untuk bekerja dari rumah, ada juga kekhawatiran tentang kekuatan bisnisnya secara keseluruhan dalam hal transformasi digital.
Secara global, 62% responden menggambarkan bahwa kemampuan digitalnya ‘tidak kuat’, sementara 19% lainnya mengumpamakannya seperti pekerjaan yang masih dalam proses. Di Indonesia, bisnis keluarga kesulitan untuk memperkecil kesenjangan digital. Hanya 25% yang merasa bisnisnya memiliki kemampuan digital yang kuat (lebih rendah dari rata-rata global: 38%).
Namun di sini terdapat perbedaan yang jelas dari masing-masing generasi penerus: 41% bisnis yang menggambarkan dirinya kuat secara digital adalah generasi ke-3 atau ke-4, dan generasi berikutnya mengambil peran yang lebih besar dalam 46% bisnis yang kuat secara digital.
“Transformasi digital tidak hanya membutuhkan solusi teknis baru; namun juga membutuhkan budaya baru. Ada bukti jelas bahwa memiliki kemampuan digital yang kuat memungkinkan adanya ketangkasan dan kesuksesan. Agar perubahan tersebut berhasil, bisnis keluarga harus mempertimbangkan bagaimana mereka dapat melibatkan pengalaman dan wawasan baru dari generasi berikutnya ketika harus memprioritaskan perjalanan digital mereka,” tutur Irhoan.
Kesenjangan tata kelola
Meskipun bisnis keluarga melaporkan tingkat kepercayaan, transparansi, dan komunikasi yang baik, survei tersebut menyoroti manfaat dari struktur tata kelola profesional. Walaupun 79% responden mengatakan memiliki prosedur atau kebijakan tata kelola, angkanya turun secara drastis jika menyangkut bidang-bidang penting: lebih dari seperempat menyatakan bahwa bisnisnya memiliki anggaran rumah tangga atau protokol bisnis keluarga, sementara hanya 15% yang telah menetapkan mekanisme penyelesaian konflik.
Dalam bisnis keluarga di Indonesia, tingkat kepercayaan, transparansi dan komunikasi dirasa cukup tinggi. Namun, hanya 51% yang mengatakan ada keselarasan keluarga dalam arah perusahaan (dibandingkan dengan 58% secara global). Hasilnya juga menunjukkan bahwa dua pertiga bisnis keluarga di Indonesia merasa memiliki gambaran yang jelas tentang nilai-nilai perusahaan dan/atau keluarga dan nilai-nilai ini telah membantu sebagian besar bisnis keluarga selama pandemi COVID-19. Namun, hanya 44% yang nilai dan misi perusahaannya dituangkan dalam bentuk tertulis. Sebanyak 31% bisnis keluarga di Indonesia mengklaim memiliki rencana suksesi yang kuat, terdokumentasi, dan dikomunikasikan, dibandingkan dengan 30% secara global. Lebih dari 80% bisnis keluarga di Indonesia mengakui konflik keluarga terjadi di dalam bisnis.
Peter Englisch berkata, “Keharmonisan keluarga tidak boleh dianggap remeh - hal itu adalah sesuatu yang harus dikerjakan dan direncanakan, dengan fokus dan profesionalisme yang sama yang diterapkan pada strategi bisnis dan keputusan operasional. Ada kekhawatiran yang berkembang dari regulator di seluruh dunia tentang suksesi bisnis keluarga, terutama dengan fakta bahwa sepertiga dari bisnis generasi ke-1, ke-2, atau ke-3 mengharapkan agar generasi berikutnya menjadi pemegang saham mayoritas dalam lima tahun ke depan. Oleh karena itu, sangat penting agar bisnis mengambil peran kepemimpinan dalam memastikan adanya proses formal yang dapat menjamin stabilitas dan kelangsungan dalam jangka panjang."
Catatan untuk editor
1. Survei Bisnis Keluarga (Family Business Survey) dapat dibaca di tautan berikut: https://www.pwc.com/gx/en/services/family-business/family-business-survey.html
2. Laporan tersebut disusun berdasarkan 2.801 wawancara yang dilakukan dengan para pemimpin bisnis keluarga dan pengambil keputusan di 87 wilayah antara tanggal 5 Oktober dan 11 Desember 2020.
Tentang PwC Indonesia
PwC Indonesia terdiri dari KAP Tanudiredja, Wibisana, Rintis & Rekan, PT PricewaterhouseCoopers Indonesia Advisory, PT Prima Wahana Caraka, PT PricewaterhouseCoopers Consulting Indonesia, dan Melli Darsa & Co., Advocates & Legal Consultants, masing-masing sebagai entitas hukum dan firma anggota yang terpisah dari jaringan global PwC.
Tentang PwC
Di PwC, kami bertujuan membangun kepercayaan dalam masyarakat dan memecahkan masalah-masalah penting. Kami adalah jaringan firma yang terdapat di 155 negara dengan lebih dari 284.000 orang yang berkomitmen untuk memberikan jasa assurance, advisory dan pajak yang berkualitas. Temukan lebih banyak informasi dan sampaikan hal-hal yang berarti bagi Anda dengan mengunjungi situs kami di www.pwc.com.
PwC merujuk pada jaringan PwC dan/atau satu atau lebih firma anggotanya, masing-masing sebagai entitas hukum yang terpisah. Kunjungi www.pwc.com/structure untuk informasi lebih lanjut.
© PwC 2021. Hak cipta dilindungi undang-undang.