Transisi Energi Dorong Diversifikasi Bisnis Pertambangan

Kompas.id

19 July 2023

 

Jakarta - Transisi energi menjadi momentum bagi industri tambang di Indonesia untuk melakukan diversifikasi bisnis dan terlibat dalam program hilirisasi. Ini karena transisi energi akan berdampak dalam membentuk industri tambang di masa yang akan datang.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat, bauran energi nasional masih didominasi oleh energi fosil sebesar 87,4 persen. Sementara Indonesia berambisi untuk mencapai emisi nol bersih (net zero emission/NZE) pada tahun 2060.

Peneliti Alpha Research Database, Ferdy Hasiman, mengatakan, perubahan menuju energi bersih belum berdampak hingga mencapai titik kritis bagi industri tambang di Indonesia. Namun, tidak tertutup kemungkinan bahwa kebijakan transisi energi akan mendorong para pelaku industri tambang untuk berbenah.

”Transisi energi adalah hal yang penting dalam mendorong penggunaan energi baru dan lebih ramah lingkungan. Dengan sendirinya, permintaan energi yang bersifat karbon, seperti batubara, akan menurun, tetapi tidak dalam waktu sekejap,” ujarnya saat dihubungi dari Jakarta, Rabu (19/7/2023).

Menurut Ferdy, perusahaan tambang sebaiknya mulai mengurangi tingkat ketergantungannya terhadap komoditas batubara. Hal ini karena negara-negara tengah menuju ke arah energi bersih dan mulai meninggalkan energi yang menghasilkan jejak karbon.

Upaya untuk mengurangi ketergantungan batubara, lanjut Ferdy, dapat dilakukan dengan diversifikasi bisnis dan terlibat dalam program hilirisasi. Diversifikasi tersebut terutama berfokus pada mineral tambang yang menunjang pengembangan inovasi teknologi energi baru dan terbarukan (EBT), seperti ekosistem baterai kendaraan listrik.

Seperti diketahui, baterai kendaraan listrik membutuhkan mineral, antara lain bauksit, nikel, tembaga, timah, dan litium. Beberapa di antara mineral tersebut dapat ditemukan di Indonesia, kecuali litium dan grafit.

Diversifikasi bisnis penting dilakukan. Pembangunan smelter sebagai bagian dari hilirisasi, misalnya, bisa mengantisipasi arah kebijakan global.

”Diversifikasi bisnis penting dilakukan. Pembangunan smelter sebagai bagian dari hilirisasi, misalnya, bisa mengantisipasi arah kebijakan global. Apalagi, negara-negara di dunia juga sudah mulai menurunkan permintaannya terhadap batubara, seperti China, Amerika, dan Eropa,” lanjut Ferdy.

Ferdy menambahkan, program hilirisasi perlu dikawal dengan serius agar menghasilkan nilai tambah yang maksimal bagi negara. Pemerintah sebaiknya tidak lagi memberikan izin usaha pertambangan (IUP) bagi perusahaan yang tidak memiliki smelter guna mengantisipasi aktivitas tambang dan ekspor tambang ilegal.

Berdasarkan data Kementerian ESDM, jumlah perizinan tambang berdasarkan jenisnya per Juli 2023 mencapai 4.070 IUP, 9 izin usaha pertambangan khusus (IUPK), 31 kontrak karya (KK), dan 59 perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B). Sementara berdasarkan tahapan kegiatannya, terdapat 8 perizinan eksplorasi mineral dan 841 operasi produksi mineral.

Prospek ke depan

Laporan Pricewaterhouse Coopers (PwC) Mine ke-20 bertajuk ”2023 Mine: The Era of Reinvention” menemukan, kapitalisasi pasar 40 perusahaan tambang global naik tiga kali lipat dari 400 miliar dollar AS pada 2003 menjadi 1,2 triliun dollar AS pada 2022. PwC dalam laporannya tersebut hendak menelaah tren-tren di industri pertambangan berdasarkan laporan tahunan dari 40 perusahaan tambang global.

Menurut survei PwC terhadap lebih dari 4.000 CEO secara global pada tahun 2022, lebih dari sepertiga CEO perusahaan tambang berpandangan perusahaan mereka sangat atau luar biasa terpapar risiko terkait iklim dalam lima tahun ke depan.

PwC Australia Global Mining Leader, Mining and Metals Paul Bendall memaparkan, pertambangan berperan penting dalam mendukung transisi global menuju energi bersih. Namun, faktor geopolitik dalam pertambangan global dapat mempersulit operasi usaha di dunia yang kian kompleks dengan pemain-pemain baru.

”Mineral kritis akan menjadi vital bagi masyarakat dan industri pertambangan selama 20 tahun ke depan. Perang, perubahan iklim, dan revolusi teknologi menempatkan industri pertambangan tepat pada inti lanskap geopolitik baru dunia,” katanya dalam keterangan tertulis, Senin (17/7/2023).

Seperti diketahui, mineral kritis (critical raw materials) merupakan mineral yang digunakan untuk bahan baku produk inovasi teknologi berbasis energi bersih dan terbarukan. Dalam hal ini, mineral tambang seperti bauksit, nikel, dan timah termasuk dalam mineral kritis.

Laporan ini juga menemukan, transaksi merger dan akuisisi dari 40 perusahaan tambang terbesar di dunia mengalami perubahan yang signifikan. Nilai transaksi mineral kritis meningkat sebesar 151 persen dibandingkan tahun 2021 dan menghasilkan 66 persen dari total nilai transaksi kesepakatan sepanjang tahun.

Tembaga, misalnya, berkontribusi sebesar 85 persen dari semua transaksi mineral kritis serta 56 persen dari total transaksi merger dan akuisisi 40 perusahaan tambang. Sebagai logam penting dalam peralihan menuju energi yang berkelanjutan, tembaga diperkirakan akan tetap diminati seiring semakin diprioritaskannya sumber-sumber energi terbarukan.

Oleh sebab itu, perusahaan tambang sebaiknya tidak hanya berfokus pada portofolio lama, tetapi bertransformasi demi masa depan mineral kritis. Menurut Bendall, perusahaan tambang juga perlu bekerja sama dengan pemerintah guna mencapai pertumbuhan jangka panjang.

PwC Indonesia Energy, Utilities and Resources Lead Advisor Sacha Winzenried menjelaskan, tren utama yang teridentifikasi dalam laporan tahun ini sangat relevan dengan kondisi di Indonesia. Sebab, fokus terhadap dekarbonisasi dan memaksimalkan nilai mineral kritis untuk transisi energi dan rantai pasok kendaraan listrik terus meningkat.

”Dua tantangan utama perusahaan tambang adalah menurunkan emisi di satu sisi, sekaligus meningkatkan produksi untuk memenuhi permintaan. Untuk memanfaatkan peluang dekarbonisasi, perusahaan tambang perlu menerapkan strategi untuk mengurangi emisi, menghemat biaya, dan beradaptasi dengan pasar baru,” ujarnya.

(Agustinus Yoga Primantoro & Muhammad Fajar Marta)

Follow PwC Indonesia